Judul : Selimut Debu
Penulis : Agustinus Wibowo
Penerbit : Gramedia
Halaman : 461 Halaman
Disini semua mahal. Yang murah cuma satu: nyawa manusia.
Itulah sepenggal kalimat pembuka yang ada di cover buku setebal 461 halaman. Apa yang kali pertama terlintas dalam otak jika mendengar nama Afganistan? Taliban? Negara penghasil opium terbesar? Ataukah negeri perang dengan wanita tertutup burqa? Afghanistan bukan hanya sekedar itu.
Saya mengenal Afghanistan hanya sebatas informasi dari televisi maupun internet. Afghanistan mulai terkenal ketika Amerika Serikat menyerang Taliban atas tuduhan serangan 9/11. Sejak itu, Afghanistan identik dengan pertempuran, kemiskinan, dan keterbelakangan. Namun, Afghanistan bukan hanya sekedar itu.
Agustinus Wibowo menjelajah Afghanistan, sebuah negara yang tidak populer di kalangan backpacker maupun traveller. Namun Agustinus Wibowo justru menikmati perjalanannya. Afghanistan, negara di Asia Tengah yang berada di antara negara-negara pecahan Rusia yang berakhiran stan seperti Tajikistan, Turkmenistan, Pakistan dan stan-stan yang lain. Afghanistan, negeri yang penuh ironi. Perang melanda, selimut debu membungkus, ranjau mengancam, tetapi masih ada tawa bahagia di tengah kerontangnya padang ketika para penjinak ranjau kegirangan menemukan ranjau. Ranjau memang masih tersebar di negeri ini. Tidak sedikit rakyat Afghanistan terkena dampaknya yang menjadikannya negara dengan penyandang cacat terbesar di dunia.
Kemewahan bangunan di Kabul kontras dengan jalan becek dan hancur berlimbah lumpur di hadapannya. Sebuah kontras yang mewarnai negeri. Lebih jauh ke pedalaman Afghanistan, Agustinus menemukan wanita-wanita dalam pakaian warna-warni bebas melakukan aktifitas tanpa burqa.
Dalam buku ini, Agustinus mengajak kita berkelana menyusuri sisa-sisa kejayaan agama budha di Bamiyan, menyelami karakter penduduk Afghanistan yang multietnis, meminum teh cara Persia, menginap di samovar, bertemu wanita-wanita "tanpa identitas" dalam balutan burqa, menengok industri senjata yang menjadi industri rumahan hingga bermain dengan selonsong peluru. Sebagian besar penduduk Afghanistan sangat menghormati musafir. Mereka tetap memuliakan tamu meski hidup dalam keterbatasan. Memang sih, tidak selalu mulus penjelajahan Agustinus Wibowo. Dari kekurangan uang, kecopetan, percobaan pelecehan, transportasi yang susah nan mahal, hingga birokrasi yang njelimet. Namun, itulah seni berpetualang dan mengekplorasi.
Buku ini dilengkapi dengan peta Afghanistan agar pembaca bisa mengikuti alur perjalanan, tidak dengan mengandalkan imajinasi belaka. Beberapa foto membenarkan keindahan yang telah dituliskan Agustinus Wibowo. Sungguh negeri yang cantik. Benar, Agustinus Wibowo bukanlah seorang backpacker, melainkan explorer. Seperti yang tertulis pada kata pengantar di awal buku.
Rate: 4.5/5