menubar

Aug 14, 2009

Lelaki itu ...

Hari itu, aktifitasku dimulai seperti biasa. Bangun pagi, siap-siap ke kantor. Rutinitas sehari-hari yang kadang-kadang membuatku bosan. Seperti biasa juga, ada customer datang silih berganti membawa barang-barang yang rusak untuk diganti dengan yang baru. Semuanya tampak biasa saja bagiku.


Siang itu, seorang customer datang dengan Hard disknya yang rusak. Karena masih dalam garansi penggantian. Segera saja aku bergegas ke gudang untuk mengambilkannya hard disk yang baru. Ketika sampai di koridor menuju gudang, ternyata lagi ada pengiriman barang. Berpuluh-puluh kardus memenuhi koridor, yang merupakan satu-satunya akses menuju gudang. Karena tak bisa melewatinya, akhirnya kuputuskan untuk menundanya sebentar, dan aku meminta customer itu untuk bersabar sementara waktu.


Beberapa saat aku kembali lagi, dan kulihat salah satu kuli angkutnya sudah beruban. Perasaan kasihan bercampur dengan salut. Kulitnya yang hitam mulai menampakkan keriput disana-sini. Rambutnya hampir seluruhnya telah berubah warna. Nafasnya memburu, keringatnya bercucuran, peluh membasahi kaos coklat yang ia kenakan. Sejenak dalam hati aku berpikir, dia yang sudah tua masih saja membanting tulang. Bukankah seharusnya, dia yang sudah senja, diam dirumah dan menikmati masa tuanya. Bermain bersama cucu-cucunya.


Tapi pasti ada ribuan alasan kenapa dia masih bekerja di hari tuanya. Tapi aku salut banget dengan bapak tua itu. Masih bersemangat. Saat itu, aku malu dengan diriku sendiri. Aku masih muda, masih banyak impian yang ingin kuraih, tapi terkadang aku malas. Malas ke kantor, malas berangkat kuliah. Padahal yang harus kulakukan tidak seberat pekerjaan bapak itu. Malu pada diri sendiri.


Lalu aku juga teringat dengan seorang pemuda yang kulihat di perempatan jalan minggu lalu. Berperawakan agak gemuk, dan kutaksir kira-kira 26 tahun usianya. Tak ada sedikitpun perasaan iba ketika dia menyodorkan sterofoam bekas pop mi kearahku. Sambil memberikan isyarat menolak dengan tangan kananku, aku berlalu karena memang traffic light sudah menyala hijau. Badannya masih segar meskipun kulitnya terbakar matahari. Masih dalam usia produktif, seharusnya dia tidak menggantungkan hidupnya dari belas kasihan orang alias pengemis. Masih banyak pekerjaan yang bisa dia dapatkan dengan postur tubuh seperti itu. Entah menjadi kuli panggul di pasar, tukang parkir, tukang ojek atau pekerjaan apapun yang penting halal dan bukan pengemis.



Sangat kontras dengan semangat bapak tua kuli angkut tadi. Sebagai manusia, kita harus tetap semangat dan tetap bekerja keras. Jangan biarkan usia mengalahkan kita.


Keep on fighting…!!!

No comments:

Post a Comment

Teman-teman boleh meninggalkan apapun disini. Sekedar say "hello", komentar, jejak dan lainnya. Terimakasih. (Tapi jangan anonim ya, ntar bingung mao berkunjung kemana)